Natuna, Rajawalimedia.net – selasa (9/2/21). waktu 11:58 WIB di gedung DPRD Natuna . Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Natuna, Senin siang menggelar pertemuan dengan Pemerintah Kecamatan Bunguran Barat, Bunguran Utara, Bagian Tata Pemerintahan Setda Natuna dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Natuna.
Pertemuan tersebut untuk membahas sengketa tapal batas wilayah antara Kecamatan Bunguran Barat dan Kecamatan Bunguran Utara (Kelarik). Tepatnya diperbatasan antara Kampung Segeram Kelurahan Sedanau, Bunguran Barat dan Desa Gunung Durian, Bunguran Utara.
Musyawarah ini untuk mencari solusi dan menyelesaikan masalah tapal batas kedua wilayah tersebut, ungkap Ketua Komisi I DPRD Natuna, Wan Arismunandar di awal rapat yang di gelar di Gedung DPRD Natuna, Jalan Yos Sudarso, Ranai.
Dalam rapat tersebut,, Wan Aris mempertanyakan masalah tapal batas yang belum di selesai kepada Camat dan mantan Camat Bunguran Utara, mantan Lurah Sedanau, Camat Bunguran Barat, Kabag Tapem dan ke pihak BPN Natuna.
Camat Bunguran Utara, Mardi Hendrika menyebutkan bahwa permasalahan penguasaan batas wilayah antara Pemerintah Desa Gunung Durian dan Segeram,
Baca juga : Ketua DPD RI Desak Pemda Lakukan Root Cause Analysis Untuk Tangani Banjir
“Kelurahan Sedanau, pernah di musyawarahkan bersama para aparat pemerintahan, tokoh adat dan masyarakat dua wilayah tersebut pada tahun 2018 lalu. Namun belakangan timbul masalah baru, mengenai tumpang tindih penerbitan surat tanah atau alashak dari masing-masing Pemerintah yang berwenang,” kata dia.
Kemudian Kepala Desa Gunung Durian, Amran menambahkan bahwa permasalahan timbul setelah Pemerintah Kelurahan Sedanau diketahui telah menerbitkan surat tanah atau alashak untuk warganya. Akan tetapi lokasi lahan tersebut berada diwilayah Desa Gunung Durian, Kecamatan Bunguran Utara.
Padahal terang dia lokasi lahan yang disuratkan oleh Pemerintah Kelurahan Sedanau itu kondisinya masih berupa hutan.
Ini kan aneh, masak hutan disuratkan, padahal dasar hukumnya tidak ada. Kecuali memenuhi kriteria, misalnya itu adalah tanah warisan, lahan usaha masyarakat atau perkebunan,” ujar Amran.
Jika pun terbit, sebut Amran surat alashak itu hanya berlaku selama 6 (enam) bulan. Namun jika hingga kurun waktu 6 bulan tersebut lahan masih juga tidak dikelola oleh sang pemilik, maka harus dikembalikan lagi ke negara.
Makanya saya tidak mau mengeluarkan surat alashak kepada masyarakat, karena khawatirnya nanti di salah gunakan meskipun saya tahu itu masuk wilayah saya,” sebut Amran.
Sementara itu, mantan Camat Bunguran Utara, Sabki, menerangkan bahwasannya permasalahan batas wilayah ini sebelumnya sudah sering dibahas dan dimusyawarahkan antar kedua belah pihak. Hingga akhirnya batas-batas wilayah tersebut telah ditetapkan oleh pihak Tapem Setda Natuna serta keluarnya SK Bupati Natuna,” terang Sabki.
Bacaan lain : Tambang Galian C di Duga Illegal, Merajalela di Kabupaten Kediri
Tapi sekarang kok timbul lagi masalah tapal batas wilayah ini. Waktu saya masih Camat Bunguran Utara, batas-batasnya sudah disepakati, yaitu batas antara Kecamatan Bunguran Utara, Bunguran Timur Laut, Bunguran Barat dan Bunguran Barubi,” kata Sabki.
Terpisah, Penata Kadastral BPN Natuna, Bayu Agusty Wijanarko, menjelaskan, bahwa berdasarkan Permendagri Nomor 1 tahun 2006 tentang pedoman penegasan batas daerah, yang berhak menentukan batas administrasi Desa, Kelurahan dan Kecamatan adalah pemerintah daerah setempat.
“Penentuan batas wilayah administrasi tambah dia biasanya dilihat berdasarkan peta topografi, sebaran alam seperti sungai, jalan dan lain sebagainya, serta berdasarkan persetujuan dari para ketua adat, tokoh masyarakat dan persetujuan dari perangkat-perangkat Pemerintah yang berwenang.
Menurut saya, pokok permasalahan sebenarnya itu adalah batas wilayah administrasi, bukan batas penguasaan wilayah yang ada di Desa-desa. Artinya yang berhak mengatur batas wilayah administrasinya adalah Pemda itu sendiri,” jelas Bayu. (Jf.Btm)